Halaman

Sabtu, 30 Maret 2013

Perkembangan Akademi Kepolisian dari masa kemasa


  Tidak dapat dihindari bahwa perkembangan Akademi Kepolisian atau biasa disingkat menjadi Akpol seiring dengan dinamika perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Keterkaitan ini karena memang Akpol merupakan kepanjangan birokrasi dari institusi Polri, yang memiliki tugas pokok menyelenggarakan pendidikan pembentukan Perwira Pertama Polri. Untuk memudahkan pemahaman perkembangan Akpol, maka akan relevan jika membaginya dalam dua tahapan pokok, yaitu perkembangan Akpol pada masa sebelum reformasi dan perkembangan Akpol setelah masa reformasi. Penyampaian materi perkembangan Akpol pada masa setelah reformasi akan lebih detail dan fokus. Hal ini disebabkan begitu banyaknya perubahan yang dialami oleh Akpol pasca reformasi yang terjadi di Indonesia.

Masa Sebelum Reformasi
    Perjalanan sejarah Akademi Kepolisian telah mengalami berbagai perubahan secara organisasi maupun tempat domisilinya sampai pada akhirnya menetap di Semarang. Tonggak berdirinya Akademi Kepolisian dimulai setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, para cendikiawan bangsa Indonesia mengambil alih kekuasaan pendidikan dari penjajah Jepang. Ambil alih tersebut termasuk pendidikan kepolisian “Jawea Keisatsu Gakka” selanjutnya diganti menjadi Sekolah Polisi Negara Republik Indonesia di Sukabumi. Sekolah inilah nantinya akan menjadi cikal bakal Akademi kepolisian.
    Pada tanggal 10 Juli 1959, Dengan surat Keputusan Presiden No. : 253/1959, Kepolisian Negara Republik Indonesia berubah menjadi Angkatan Kepolisian Republik Indonesia, dengan demikian Sekolah Polisi Negara di Sukabumi yang merupakan penyatuan dari Sekolah Inspektur Polisi di Bukit Tinggi dan Jogjakarta berubah menjadi Sekolah Angkatan Kepolisian.
    Selanjutnya, pada tanggal 1 Oktober 1965, Sekolah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia berubah menjadi Akademi Angkatan Kepolisian (AAK), diresmikan oleh Men Pangak Inspektur Jenderal Polisi Soetjipto Judodiharjo, dengan Surat Keputusan Menhankam Pangab No. : 468/5/B/65/M, pada tanggal 1 Oktober ini yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Akademi Kepolisian. Pataka AAK berfalsafah Atmaniwedana Aryawirya Kretakarma diserahterimakan. Pada tanggal 16 Desember 1966, AAK diubah menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bagian Kepolisian.
    Pada tanggal 29 Januari 1967, dibuka AKABRI bagian umum di Magelang dengan Taruna berasal dari pengiriman dari masing-masing angkatan dan Polri, Setelah menyelesaikan pendidikan selama 1 tahun di Magelang, Taruna AKABRI bagian Kepolisian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan matra Kepolisian selama 3 (tiga) tahun.
    Perjalanan sejarah selanjutnya pada tanggal 1 Juli 1980, kompleks AKABRI bagian Kepolisian di Semarang diresmikan penggunaannya oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Awaloeddin Djamin MPA. dengan surat Keputusan Kapolri No. Pol Skep/36/I/1985 tanggal 24 Januari 1985 AKABRI Kepolisian berubah menjadi Akademi kepolisian setelah AKABRI bagian dialihkan kembali kepada angkatan masing-masing, dan ditetapkan pula Pataka Akpol dengan tambahan pita diatas lambang bertuliskan Akademi Kepolisian, sasanti dibawah gambar lambang menjadi bertuliskan Atmaniwedana Kretama Aryawirya, gambar dibalik lambang semula lambang AKABRI “Bhineka Eka Bhakti” menjadi lambang Polri “Tribrata”
Masa Setelah Reformasi
    Pada tahun 1998 telah terjadi gerakan reformasi yang dilancarkan oleh masyarakat khususnya dilakukan oleh mahasiswa, yang berakibat lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Dengan terus bergulirnya arus reformasi yang menuntut terwujudnya tatanan demokratis, maka pada sidang istimewa MPR tahun 1988 telah dikeluarkan ketetapan-ketetapan yang salah satunya dikeluarkan Tap MPR No. : X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi kehidupan nasional sebagai haluan negara, yang menginstruksikan kepada Presiden selaku mandataris MPR, antara lain untuk melaksanakan Agenda Reformasi di bidang hukum dalam bentuk “Pemisahan secara tugas, fungsi, dan wewenang aparatur penegak hukum agar dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan integritas yang utuh”.
    Memasuki periode sejarah reformasi di Indonesia tersebut, sejarah Akademi Kepolisian mengalami perubahan dengan dikeluarkan surat Keputusan Kapolri No. Po : Skep/389/IV/1999 tanggal Akademi Kepolisian mandiri, maka sejak 10 April 1999 Akpol dinyatakan terpisah dari AKMIL, AAL, AAU serta teknis administrasi juga lepas dari Mako Akademi TNI. Akpol mandiri juga ditandai dengan adanya perubahan pada logo Akademi Kepolisian. Pada tanggal 24 tanggal 24 Oktober 2003, penggunaan logo baru Akademi Kepolisian diresmikannya oleh Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar. Perubahan yang mendasar pada logo Akademi Kepolisian adalah mengganti kata-kata “Atmaniwedana-Kretakarma-Aryawirya” yang ada di bawah logo Akademi Kepolisian ang lama dengan kata-kata “Dharma-Bijaksana-Ksatria” dan pita bertuliskan “Akademi Kepolisian”. Pita ini semula terpisah di bagian atas, kemudian pada logo yang baru disatukan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam perisai Tribrata.
    Seiring dengan beralihnya status Polri yang tidak lagi merupakan bagian dari ABRI, maka sejak tanggal 10 April 1999 Akpol yang dipimpin oleh Gubernur sebagai badan pelaksana pusat pendidikan pembentukan calon Perwira Polri yang secara struktural berkedudukan langsung dibawah Kapolri, yang juga menyelenggarakan Pendidikan Pertama Sumber Sarjana (PPSS), yaitu pendidikan Perwira Polri yang direkrut dari para sarjana S1 dan D3.
    Dalam sejarahnya pada tahun 2007 dan 2008, Polri melalui Akpol pernah mengeluarkan kebijakan untuk menerima peserta didik dari sumber sarjana Strata 1 dan Strata 2. Kebijakan ini didasari atas peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2010 tentang Pendidikan Kedinasan. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pendidikan kedinasan adalah pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh kementerian, kementerian lain atau lembaga pemerintah nonkementerian yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai negeri dan calon pegawai negeri. Sedangkan menurut Sisdiknas bahwa pendidikan kedinasan hanya menyelenggarakan pendidikan setelah sarjana (pendidikan profesi). Berjalannya waktu kemudian peraturan ini dinyatakan tidak berlaku.
    Mendasari perkembangan yang ada dalam dunia pendidikan tinggi kedinasan dan dielaborasi dengan hasil analisa dan evaluasi pendidikan Taruna Akpol yang bersumber dari sarjana, maka pihak Akpol mengusulkan kepada Mabes Polri untuk mengembalikan sumber penerimaan Taruna Akpol yaitu dari sumber SMA. Mabes Polri menyambut baik usulan dari Akpol, kemudian pada tahun 2009, sumber Taruna Akpol kembali direkrut dari masyarakat yang berlatar belakang pendidikan SMA.
    Proses penerimaan Taruna Akpol yang bersumber dari SMA terus berlangsung hingga saat ini. Hanya saja sejak tahun 2010, Polri lebih berkonsentrasi bagaimana meningkatkan kualitas program pendidikan Taruna Akpol, sehingga outputnya bisa menyandang gear akademis yaitu strata 1 ilmu kepolisian.
Akpol dan STIK – PTIK dalam meningkatkan Human Resources Competitiveness Polri
    Lembaga pendidikan yang ada di Polri merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Serian Wiyatno dalam bukunya “Pengelolaan Perguruan Tinggi Secara Efisien, Efektif dan ekonomis” (2009:xvi) menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus selalu melaukan pembaruan-pembaruan dalam rangka menghadapi tantangan dan persaingan global yang semakin kompleks. Pembaruan di bidang pendidikan harus dilakukan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Hal yang sama seharusnya dilakukan juga oleh Polri dalam mengelola lembaga pendidikannya khususnya lembaga pendidikan tingginya.
    Wacana tentang perubahan penyelenggaraan program pendidikan di Akpol merupakan wacana pembaruan yang harus dilaksanakan secara terencana, tearah dan berkesinambungan. Aplikasinya pembaruan harus dimulai dengan mulai menata ulang semua lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Polri, mereformulasi visi dan misi lembaga pendidikannya serta menetapkan tujuan akhir dari jenjang pendidikan tinggi yang dimiliki oleh Polri.
  Menggarisbawahi pembaruan pendidikan harus dilakukan secara terencana, terarah dan berkesinambungan, amak idealnya Akpol dan STIK – PTIK harus diletakkan dalam satu garis linier sebagai jenjang kependidikan yang ada di Polri dan merupakan sistem pendidikan yang berkesinambungan. Jika diproyeksikan dengan wacana Akpol akan menyelenggarakan program pendidikan strata 1, amaka setidaknya lembaga STIK – PTIK menyelenggarakan program pendidikan kelanjutannya yaitu menyelenggarakan program pendidikan kelanjutannya yaitu menyelanggaraan Program Pascasarjana untuk Strata 2 dan Strata 3. Memprosisikan Akpol dan STIK – PTIK sebagai lembaga pendidikan yang sustainable akan menuai beberapa keuntungan yaitu : (1) efisiensi kurikulum, (2) tercapai integrasi pendidikan tinggi Polri dan (3) optimalisasi anggaran pendidikan.
    Mind set Akpol dan STIK – PTIK harus satu dalam menyelenggarakan program pendidikan tinggi Polri yaitu memiliki keinginan bersama untuk meningkatkan Human Resources Competitiveness atau daya saing sumber daya manusianya. Dengan demikian sharing power-nya dapat terlaksana. Tanpa menghilangkan karakteristik lembaga dan identitas awalnya, masing-masing tetap menyeenggarakan program pendidikan tinggi, hanya saja stratanya ditingkatkan. Akpol yang semula menyelenggarakan pendidikan setara Diploma III menjadi Starta 1, dan STIK – PTIK yang semula menyelenggarakan mandiri program Strata 1 serta bekerjasama dengan Universitas Indonesia menyelenggarakan program Strata 2 dan Strata 3 menjadi menyelenggarakan secara mandiri program Strata 2 dan Strata 3.
    Deal penyelenggaraan pendidikan ini penting mengingat perubahan yang akan dilakukan oleh Polri berpacu dengan waktu. Tentunya kita sepakat bahwa perubahan tidak dapat ditahan. Pembaruan sistem pendidikan tinggi yang ada di Polri tidak bisa menunggu rekonstruksi organisasi Akpol dan STIK – PTIK secara komprehensif, agar bisa menyelenggarakan program pendidikan sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas sesuai “ideliasme” amanat petrundang-undangan. Bisa kita bayangkan, kapan Akpol bisa menyelenggarakan program pendidikan Strata 1, jika direpotkan dengan berbagai persyaratan yang termuat dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 234/U/2000 Tentang program pendidikan strata 1 baru akan terlaksana dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai contoh beberapa harus mengurus borang-borang yang berujung pada akreditasi dan persyaratan lainnya. Padahal implementasi new program sangat mendesak.
   Strateginya, akreditasi Akpol dalam menyelenggarakan program pendidikan starata 1 harus menginduk ke STIK – PTIK. Selain untuk menghemat waktu pelaksanaan peningkatan program pendidikan, juga patut diingat bahwa Akpol dan STIK – PTIK menyelenggarakan Sustainable Education Process. Namun bukan berarti Akpol dilebur menjadi satu organisasi dengan STIK – PTIK. Ingat kembali bahwa Akpol dan STIK – PTIK harus sama-sama dipertahankan karakteristik lembaga dan identitas awalnya. Disinilah terjadi apa yang dinamakan dengan Delegate of Education Management. Akpol dan STIK – PTIK, masing-masing memiliki manajemen pengelolahan organisasi, namun STIK – PTIK mendelegasikan pengelolaan manajemen pendidikan strata 1 kepada Akpol.
Persoalan Kewenangan Penyelenggaraan Prodi S-1 di Akpol
    Selalu saja upaya untuk melakukan rekonstruksi program pendidikan di Akpol dari semula progam Diploma III menjadi Strata 1, terhambat hanya karena penamaan lembaga Akpol. Secara singkatan memang Akpol merupakan kependekan dari Akademi Kepolisian. Sebagian besar kelompok akademisi pasti akan menganggap bahwa lembaga pendidikan tinggi berbentuk Akademi hanya bisa menyelenggarakan program pendidikan maksimal setara Diploma III, tidak bisa menyelenggrakanan pendidikan setara strata 1.
    Pendidikan tersebut diperkuat dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan perguruan Tinggi. Secara eksplisit kedua dasar hukum tersebut memang secra jelas mengatur bahwa lembaga pendidikan tinggi yang berbentuk Akademi hanya bisa menyelenggarakan program studi maksimal setara Diploma III dan memberikan gelar profesional bukan gelar akademik.
    Tuntutan perubahan mendorong lahirnya PP No. 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, pasal 2a ayat (1a), mensyaratkan bahwa penyidik Polri berpangkat paling rendah inspektur polisi dua dan berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu atau setara, Peraturan ini secra teknis menuntut tindak lanjut dengan adanya penyelenggaraan program pendidikan S1 untuk Perwira Pertama di Akademi Kepolisian. Namun permasalahan yang mengemuka adalah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan peraturan pelaksanaan di bawahnya, pendidikan tinggi setingkat Akademi tidak memiliki kewenangan menyelenggarakan pendidikan strata 1, sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas, memang Polri dalam hal ini Akpol harus mengikuti “aturan main” tentang pendirian dan penyelenggaraan Perguruan Tinggi. Hanya perguruan tinggi yang berbentuk universtas, sekolah tinggi dan institut saja yang bisa menyelenggarakan program studi setara sarjana dan bisa memberikan gelar akademik berupa kesarjanaan.
    Sementara itu, selama ini penyelenggaraan program pendidikan pembentukan perwira pertama menjadi doain Akademi Kepolisian. Kewnangan penyelenggaraan prodi S-1 di lingkungan pendidikan Polri hanya dimungkinkan berdasarkan Undang-Undang diselenggrakan oleh STIK – PTIK. Sehingga diputuskan tempat penyelenggaraan program studi S-1 dilaksanakan di Akademi kepolisian dan sebagai penyelenggara serta penanggung jawab program studi S-1 ada dalam kewenangan STIK – PTIK, sehingga merupakan prodi S-1 STIK – PTIK di luar domisili di Kampu Akpol Semarang.
    Perencanaan penyelenggraan program studi S-1 STIK – PTIK di luar domisili di Kampus Akpol Semarang ini telah melalui proses yang panjang, kurang lebih selama 2 tahun dan melibatkan seluruh stakeholder internal Polri dalam memformulasikan konsep dan realisasi penyelenggaraannya, yang dimulai dari brainstorming ide dan gagasan, perumusan, rapat koordinasi, wandiklat dan penyelarasan kurikulum antara Akpol dan STIK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar